Minggu, 01 November 2009

Recrutmen dan seleksi siswa

Resume Perkuliahan
Pertemuan ke 4 ( Rekruitment dan Seleksi )



Rekrutmen dan seleksi Siswa


Pada zaman global sekarang, pendidikan merupakan sesuatu yang penting. Karena pendidikan merupakan akar dari peradaban sebuah bangsa. Pendidikan sekarang telah menjadi kebutuhan pokok yang harus dimiliki setiap orang agar bisa menjawab tantangan kehidupan. Tetapi pendidikan juga tidak lepas dari :fungsi lembaga pendididikan, yaitu :
1. Teknis Ekonomi
Pendidikan sangat dibutuhkan dalam setetiap orang. Karena dengan pendidikan ia apat meningkatkan kualitas kehidupannya.
Pada pertemuan kemarin pak Amril mengataan bahwa mengapa seseorang membutuhkan pendidikan salah satu hal yang paling adalah karena dengan pendidikan, dapat meningkatkan taraf hidup individu, keluarga, masyarakat menjadi lebih baik.
2. Sosial
kontribusi pada tatanan sosial, hubungan antar manusia, kontribusi pada peradaban.
3. Politik
Kepentingan Negara : warga negara tahu hak dan kewajiban kepemimpinan, partisipasi, demokrsasi, kewenangan,dll.
4. Kultural
Menjaga nilai-nilai baik di masyarakat dan mengembangkan nila- nilai yang lebih baik untuk pembentukan peradaban.
Sedangkan peradaban merupakan tingkat kemajuan budaya suatu bangsa dalam jangka waktu tertentu.
Budaya berfungsi untuk memelihara atau mempertahankan (statis) dan pengembangan inovasi (dinamis).

Pendidikan juga dapat dikatakan sebagai proses transformasi iptek dan budaya, sedangkan pengertian transformasi tersebut adalah 'apa yang anda miliki bisa berguna'.
selain itu funfgsi dari pendidikan adalah untu pengembangan IPTEK, serta diharapkan untuk bisa memberikan layanan kepada masyarakat, Spiritual yang berarti memahami hakikat dan kesempurnaan sang pencipta.

Ada hal-hal pentingyang perlu diperhatikandalam rekruitmen pendidikan, yaitu:
1. Penentuan tujuan lembaga pendidikan
2. Penentuan kriteria peserta didik yang akan diterima
3. Membuat estimasi jumlah rombongan belaja secara keseluruhan
4. Penentuan jumlah peserta didik saat ini
5. Penetuan jumlah peserta didik yang akan diterima denagn mempertahankan krieteria : gender, prestasi,dll.

Sumber-sumber rekruitmen :
1. Walk
2. Interneet
3.Advertising
4. Want. ad : Meguraikan informasi secara lengkap, termasuk biaya yang harus dikeluarkan
5. Blind . ad : Memberikan informas yang tebatas
6. Lembaga yang setingkat dibawah atau bukan
7. Organisasi
8. Open house

Pak Amril juga mengatakan bahwa bila Cost yang kita keluarkan pada saat kita kerja tidak kembali,maka sekolah itu gagal.
Jika biaya yang kita keluarkan lebih besar daripada penghasilan yang kita dapat pada saat bekerja nanti berarti sekolah tersebut gagal. untuk itulah kita perlu menghitung, merencanakan, mendesain hidup kita sedemikian mungkin. seperti target pencapaian, sehingga kita bisa focus dan dapat memanfaatkan segala aspek baik biaya, waktu tenaga dengan sebaik-baiknya. untuk itulah disarankan sangat penting membuat life Mapping (peta kehidupan) sen=hingga kita tahu target-target yang sudah kita tatapkan dan kiat focus pada target tersebut hingga target itu tercapai. Tentu saja dalam pecapaian target itu dibutuhkan kerja keras, semangat yang tinggi, dan jangan pernah menyerah sekalipun kita pernah gagal. Kembalilah bangkit dan raihlah impianmu.

Minggu, 18 Oktober 2009

Resume Perkuliahan
(Pertemuan 2)


Perencanaan Kesiswaan

Untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas diperlukan manajemen pendidikan yang dapat memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Manajemen pendidikan itu terkait dengan manajemen peserta didik yang isinya merupakan Perencanaan. Dalam sesuatu hal yang kita lakukan membutuhkan perencanaan. Demikian dalam manajemen pendidikan. Sesuatu tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada Perencanaan. Untuk itu Perencanaan sangat dibutuhkan sebelum kita melakukan tindakan.

Menurut saya Perencanaan adalah sesuatu yang akan dilakukan di masa yang akan dating.sedangkan Perencanaan dalam peserta didik adalah penentuan urutan tindakan yang harus dilakukan dalam memprakirakan segala aspek pendidikan baik biaya, pengelolaan waktu yang berguna untuk mengelola peserta didik berdasarkan data dengan memperhatikan priotas yang wajar bersifat efisien untuk mencapai tujuan pendidikan.

Untuk membuat perencanaan yang baik kita juga harus mengetahui tidak hanya bagian internalnya tetapi juga bagian eksternalnya.

Sesuai dengan materi yang disampaikan bahwa ada dua aspek (faktor internal dan eksternal) yang pelu diperhatikan dalam Perencanaan yaitu :
Faktor Eksternal
1. Industry and market
2. Competitor
3. Political and Regulatory
4. Social
5. Human Resources
6. Macroecomic
7. Technological

Faktor Intetrnal
1. Strategi
2. Kebijakan
3. Program
4. Prosedur
5. Metode
6. Sistem
7. Anggaran
8. Standar yang dibutuhkan


Hal-hal tersebut yang sangat penting diperhatikan dalam membuat perencanaan. Karena Perencanaan yang baik harus melihat dari berbagai aspek internal dan eksternal.

Pada Pertemuan ini Pak Amril mengatakan bahwa “Mengapa dibutuhkan perencanaan?”
Beliau mengatakan bahwa perencanaan berguna untuk menentukan :
1. Arah dan Tujuan
2. Apa yang mesti dikerjakan
3. Kapan dikerjakan
4. Bagaimana cara untuk mengerjakan dan siapa yang akan mengerjakannya.

Dengan demikian sebelum kita merencanakan sesuatu kita harus sudah mengetahui hal-hal apa yang harus kita lakukan sebelumnya, Beliau juga mengatakan bahwa mengapa dibutuhkan perencanaan dalam pendidikan. Karena agar kita mengetahui “Prioritas” mana yang harus didahulukan . Sehingga dalam membuat perencanaan kita dapat menyusun hal-hal yang menjadi prioritas utama. Agar pencapaian tujuan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Resume Perkuliahan
(Pertemuan ke 2)

Psikologi Perkembangan

Dalam hidup ini kita sering mendengar kata Perkembangan dan Pertumbuhan. Perkembangan adalah perubahan yang bersifat kualitatif mengenai aspek psikis atau rohani.Pertumbuhan adalah perubahan yang bersifat kuantitatif mengenai aspek fisik atau biologis
Perkembangan Individu dapat dikatakan sebagai Never ending Proses (perkembangan tidak akan pernah berhenti), Semua aspek perkembangan saling mempengaruhi baik aspek emosional, aspek disiplin, aspek agama dan aspek sosial,Perkembangan juga mengikuti pola/arah tertentu karena perkembangan individu dapat terjadi perubahan perilaku yang dapat dipertahankan atau bahkan ditinggalkan.
Psikologi perkembangan itu sendiri adalah cabang dari ilmu psikologi yang mempelajari perkembangan dan perubahan aspek kejiwaan manusia sejak dilahirkan sampai dengan mati. Terapan dari ilmu psikologi perkembangan digunakan di bidang berbagai bidang seperti pendidikan dan pengasuhan, pengoptimalan kualitas hidup dewasa tua, penanganan remaja.
Menurut John Locke (Asosiasi ) manusia dilahirkan seperti kertas putih yang kemudian diisi dengan pengalaman. Baik dalam pengalaman luar yang diperoleh dengan panca indera (sensations) dan pengalaman dalam mengenai keadaan batin yang menimbulkan reflections.
Sebagai manusia kita tidak lepas dari perkembangan. Untuk itu mempelajari psikologi perkembangan bertujuan untuk Memberikan, Mengukur dan menerangkan perubahan dalam tingkah laku serta kemapuan yang sedang berkembang sesuai dengan tingkat umur dan yang mempunyai ciri-ciri universal, dalam arti yang berlaku bagi anak-anak dimana saja dan dalam lingkungan sosial budaya, Mempelajari perbedaan-perbedaan yang bersifat pribadi pada tahapan atau masa perkembangan tertentu, Mempelajari tingkah laku anak pada lingkungan tertentu yang menimbulkan reaksi yang berbeda.

1. Setiap anak didk memilki keunikan tersendiri. Mereka memiliki karakter bahkan tingkat kecerdasan yang berbeda-beda. Ada 2 jenis Perkembangan Intelektual yang terjadi di remaja yaitu :
Deduktif hipotesis
1. Mengawali pemikiran bersifat teoretis
2. Menganalisis masalah
3. Mengajukan cara penyelesaian masalah
4. Mengajukan pendapat/prediksi/proporsi
5. Mencari hubungan antara proporsi

Berpikir operasional dan kombinasoris
melakukan pengujian hipotesis, menganalisis secara ilmiah (berpikir ilmiah)
Untuk itu hal yang seorang pendidik harus mengetahui kebuhtuhan anak didiknya. Dengan memberi peluang untuk melakukan penjelajahan,memberikan tugas menantang, dengan memberikan materi pelajaran yang mengandung nilai instrinsik yang bermakna bagi kehidupan serta memberikan kebebasan pada anak didik untuk mengembangkan kreativitasnya tetapi tidak lepas dari tanggung jawabnya.

Paradigma Baru Manajemen Pendidikan

Resume Perkuliahan
(Pertemuan 1)

Paradigma Baru Manajemen Pendidikan

Dalam kuliah pertama mata kuliah Manajemen Peserta Didik yang diajar oleh Bapak Amril Muhammad beberapa waktu lalu, kami membahas mengenai “Paradigma baru Manajemen Pendidikan”.

Dalam pertemuan kali ini banyak sekali informasi yang kami dapat, megenai realita yang akan kita hadapi jika kita menjadi seorang manager pendidikan. Sehingga membuka mata saya bahwa menjadi seorang manager pendidikan tidaklah hal yang mudah karena selain dituntut memiliki pengetahuan yang baik seorang calon manager pendidikan juga harus mengetahui trend yang terjadi di masa kini dan masa yang akan datang.

Suatu system pendidikan dapat dikatakan bermutu jika proses belajar mengajarnya dapat berlangsung secara efektif dan efisien sehingga materi ajar yang akan disampaikan dapat sesuai dengan tujuan dan target yang telah ditetapkan. Proses pendidikan yang bermutu akan menghasilkan lulusan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Dan dalam menghasilkan Peserta didik yang bermutu tidak lepas dari bagaimana me-manage peserta didiknya.

Menurut saya Manajemen itu sendiri adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian kegiatan, seperti perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian / pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya.

Sedangkan Manajemen Peserta Didik adalah penataan dan pengaturan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan peserta didik, mulai masuk sampai dengan keluarnya peserta didik tersebut dari suatu sekolah yang bertujuan mengatur berbagai kegiatan dalam bidang kesiswaan agar kegiatan pembelajaran di sekolah dapat berjalan dengan lancar, tertib, dan teratur, sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai.

Di dalam paradigma baru ini, terdapat beberapa aspek yang perlu kita perhatikan.Yaitu adalah trend yang terjadi di masa kini dan yang akan terjadi di masa depan.


Trend-trend yang disebutkan dalam materi ini diantaranya adalah :
1. Kompetitif
2. Transparan
3. Spesialis
4. Profesionalisme
5. Dinamis
6. Adaptif

Keseluruhan dari trend-trend tersebut merupakan harapan masyarakat
kepada kita, khususnya, sebagai calon manajer pendidikan.Mungkin kita
sering ragu tentang pekerjaan kita di masa depan tetapi sesuai dengan
perkataan Pak Amril, Beliau mengatakan jika kita mengikuti trend_trend
tersebut maka pekerjaanlah yang akan mencari kita, bukan kita yang
mencari pekerjaan.







Selain itu ada beberapa tuntutan kompetensi SDM, yaitu :
1. Pengetahuan/Wawasan Global
a. Konseptual yang integratif dan Aplikatif
b. Orientasi pada solusi,inovasi dan kreatifitas
c. Nilai-Nilai universal (Lintas Budaya)
2. Keterampilan Global
a. Komunikasi Multi Budaya (setidaknya menguasai Bahasa Inggris, bahasa pergaulan internasional)
b. Pemanfaatan Teknologi informasi (mengerti bagaimana memanfaatkan teknologi dengan sebaik-baiknya demi kepentingan pengetahuan)
c. Pengembangan Intelectual+ Emotional+ Adversity Skill
(melatih diri agar seimbang di ketiga kecerdasan
tersebut)
3. Sikap / Perilaku
a. Dinamis &Flexible
b. Inisiatif & Proaktif
c. Inovatif & Kreatif
d. Mandir

Hal-hal tersebut yang bisa membuat kita untuk bersaing di era global. Karena hal-hal tersebut yang sangat perlu diperhatikan jika kita berada di dunia pekerjaan.

Beliau juga mengatakan bahwa “ Proses memang penting tetapi hasil lebih penting”. Karena tanpa hasil yang baik proes jadi kurang diperhatikan.Untuk itu dengan hasil memang yang terpenting tetapi proses juga tidak boleh diabaikan.

Sebelum saya mengambil mata kuliah MPD ini dengan dosen Pak Amril, saya sempat ragu karena banyak yang mengatakan bahwa mata kuliah ini sangat ditakuti oleh anak-anak manajemen pendidikan yang lain. Tetapi saya mengambil keputusan ” Jangan mundur sebelum berperang”. Setelah mengikuti mata kuliah pertemuan pertama ini ternyata banyak sekali wawasan pengetahuan yang saya dapat. Mengenai kehidupan, pembelajaran dan pengembangan diri. Semoga ilmu pengetahuan yang didapat dapat bermanfaat bagi kita semua.

Sabtu, 17 Oktober 2009

LOVE U SO MUCH . .







" MY LOVELY MOM N DAD "

Peran Komite Sekolah Dalam Pelaksanaan Manajemen Berbais Sekolah Di MTsN 02 Semarang

artikel 1
(perencanaan kesiswaan)


Peran Komite Sekolah Dalam Pelaksanaan Manajemen Berbais Sekolah Di MTsN 02 Semarang


Judul: Peran Komite Sekolah Dalam Pelaksanaan Manajemen Berbais Sekolah Di MTsN 02 Semarang
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian Mohon Pilih.
Nama & E-mail (Penulis): Drs.Sukron
Saya Kepala Sekolah di MTsN Parakan
Topik: Pendidikan
Tanggal: 27-10-2005


Peran Komite Sekolah Dalam Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di MTsN II Semarang

Otonomi daerah sebagai wahana untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan di masyarakat, lancar dan tidaknya realisasi pelaksanaan otonomi daerah tersebut, sangat dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat itu sendiri. Kemampuan yang dibutuhkan antaranya adalah kemampuan sumber daya manusia untuk mengelola dnamika masyarakat, kemampuan untuk mengalokasikan sumebr finansial daya alam, secara tepat, memotifasi lembaga-lembag pendukung pembangunan, serta keberanian untuk mengambil keputusan-keputusan untuk kemajuan daerah. Dalam rangka pelaksanaan otoniomi pendidikan sebagai salah satu bagian dari otonomi daerah, maka untuk meningkatkan peran serta masyarakat di bidang pendidikan, diperlukan suatu wadah yang dapat mengakomodasikan pandangan, aspirasi dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin terciptanya demokratisasi, transparasi, dan akuntabilitas pendidikan.salah satu wadah tersebut adalah dewan pendidikan di tingkat Kabupaten/ Kota dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan. Keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah ini telah mengacu kepada undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Progam Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004, dan sebagai implementasi dari undang-undang tersebut telah diterbitkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal, untuk seluruh umat dimanapun dan kapanpun. Di Indonesia pendidikan merupakan kebutuhan seluruh warga negara, maka penegmbangannya harus konseptual, menyeluruh, fleksibel dan berkesinambungan (Hardono, 1999:1). Untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan di antaranya kebijakan pembentukan dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang akhir-akhir ini menjadi agenda terhangat dalam dunia pendidikan di Indonesia. Konsep baru ini cenderung disambut dan diapresiasisebagai sebuah angin segar dalam prosesw perjalanan penyelenggaraan lembaga pendidikan dengan lebih mengintensifkan pelibatan masyarakat.

Adanya perubahan paradigma system pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi telah membuka peluang bagi mmasyarakat utnuk dapat meningkatkan peran sertanya dalam pengelolaan pendidikan, Salah satunya upaya untuk mewujudkan peluang tersebut adalah melalui Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten /Kota dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah merupakan amanat rakayat yang telah tertuang dalam UU RI No.25 tahun 2000 tentang Progam Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004. amanat rakyat ini selaras dengan kebijakan otonomi daerah, yang telah memposisikan Kabupaten/Kota sebagai pemegang kewenangan dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan pendidikan di daerah tidak hanya diserahkan kepada Kabupaten/Kota, melainkan juga dalam bebrapa hal telah diberikan kepada satuan pendidika, baik pada jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Dengan kata lain, keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah propinsi, Kabupaten/Kota, dan pihak sekolah orang tua, dan masyarakat atau stakeholder pendidikan. Hal ini sesuai dengan konsep partisipasi bebasis masyarakat (community based participation) dan Manajemen Berbasis Sekolah (school based management) yang kini tidak hanya menjadi wacana, tetapi mulai dilaksanakan di Indonesia. Inti dari penerapan kedua konsep tersebut adalah bagaimana agar sekolah dan semua yang berkompeten atau stakeholder penddikan dapat memberikan layanan pendidikan yang berkualitas. Untuk itu diperlukan kerjasama yang sinergis dari pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat atau stakeholder lainnya secara sitematik sebagai wujud peran serta dalam melakukan pengelolaan pendidikan melalui Dewan Pendidikan dan Komite sekolah.

Sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang semakin meningkat dewasa ini, maka dalam era manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pengelolaan pendidikan perlu dibenahi selaras dengan tutntutan perubahan yang dilandasi oleh adanya kesepakatan, komitmen, kesadaran, kesiapan membangun budaya baru dan profesionalisme dalam mewujudkan "Masyarakat Sekolah" yang memiliki loyalitas terhadap peningkatan mutu sekolah.

Berikut ini beberapa masalah yang menyebabkan peningkatan mutu pendidikan belum berjalan secara maksimal, serta beberapa masalah yang menjadi sebab-sebab mengapa otonomi pendidikan sangat penting dan perlu:
1. Akuntabilitas sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyrakat masih sangat rendah.
2. Pengguna sumber daya tidak optimal, rendahnya anggran pendidikan merupakan kendala yang besar.
3. Partisipasi masyarakat terhadap pendidikan rendah.
4. Sekolah tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungannnya,

Pendidikan dengan segala persoalannya tidak mungkin diatasi hanya oleh lembaga persekolahan. Untuk melaksanakan program-progamnya, sekolahan perlu mengundang berbagai pihak yaitu keluarga, masyarakat, dan dunia usaha/ industri untuk beraptisipasi secara aktif dalam berbagai program pendidikan. Paertisipasi ini perlu dikelola dan dikoordinasikan dengan baik agar lebih bermakna bagi sekolah, terutama dalam peningkatan mutu dan efektifitas pendidikan lewat suatu wadah yaitu Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten/ Kota dan Komite Sekolah di setiap satuan pendidikan. Dengan demikian pelaksanaan MBS disatuan pendidikan dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.

Dengan uraian diatas maka dalam penelitian ini mengkaji eksistensi komite madrasah dalam Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah yang terjadi di lingkungan MTsN II semarang yang berada dibawah pengelolaan departemen agama Kota Semarang.

B. Identifikasi masalah

Untuk membahas masalah dalam penelitian ini perlu diidentifikasikan masalah sebagai berikut :

1. Dengan terbitnya Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang No.25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom. Ketentuan otonomi daerah mengacu pada ketentuan-ketentuan diatas telah membawa perubahan paradigma dalam pengelolaan system pendidikan. Adanya kebijakan baru dalam pelaksanaan otonomi pendidikan diharapkan system pendidikan di Indonesia terhadap mutu pendidikan yang telah ditetapkan.

2. Secara garis besar pelaksanaan system pendidikan yang sudah berlangsung kurang lebih 4-5 tahun terakhir belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, untuk itu perlu penerapan otonomi pendidikan. Peran serta masyarakat dalam wadah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dengan mengacu pada Undang-undang No.25 tahun 2000 dan Keputusan Meendiknas No.044/2002 tentang pembentukan dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan belum berjalan sesuai dengan petunjuk teknis pelaksanaan.

3. Dengan adanya kebijakan pembentukan komite sekolah di setiap satuan pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya meletakkan landasan yang kuatn bagi terselenggaranya pendidikan yang transparan, akuntabel dan demokratis, dengan pelibatan partisipasi masyarakat secara luas belum meberi persepsi yang sebenarnya dan harapan Komite Sekolah dapat bereperan meningkatkan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan di setiap satuan pendidikan.

4. Keberhasilan MBS dapat ditentukan dengan meningkatkanya partisipasi masyarakat, dengan mengakomodasi pandangan, aspirasi dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin demokratisasi, transaparan dan akuntabilitas. Upaya ini dapat dilakukan melalui Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan/ sekolah. Komite Sekolah merupakan bentuk dari meningkatnya kompleksitas sekolah, sebagai akibat dari munculnya konsep MBS.

C. Batasan Penelitian

Adapun batasan batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Adanya penerapan dan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di MTsN II Semarang.
2. Proses dan mekanisme pembentukan Komite Sekolah dalam mewujudkan peran dan fungsinya dalam penyelenggaraan penddikan di MTsN II Semarang sesuai dengan Mendiknas No.044/U/2002.
3. Profil dan peran Komite Sekolah dalam ketercapaian pelaksanaan peranannya dalam memberikan jaminan pelibatan stakeholder pendidikan dalam mendukung proses pendidikan dan mewujudkan peningkatan mutu sekolah. Adapun peran Komite sekolah dalam penelitiannya ini dibatasi pada:

a. Badan Pertimbangan, yang meliputi :
1. Perencanaan sekolah.
2. Pelaksanaan program
3. Pengelolaan sumber daya pendidikan.

b. Pendukukng yang meliputi :
1. Pengelolaan sumber daya
2. Pengelolaan sarana dan prasarana
3. Pengelolaan anggraran

c. Pengawasan yang meliputi :
1. Mengontrol perencanaan program sekolah
2. Memantau pelaksanaan program.

D. Perumusan Masalah

Mengingat penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengungkap secara menyeluruh dan komprehensif semua aspek yang terkait tentang Eksistensi Komite Madrasah Dalam Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah, dengan mengambil kasus yang terjadi di MTsN II Semarang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah profil dan peran Komite madrasah yang telah diterapkan secaran konsekuensi di MTsN II Semarang ?

2. Bagaimanakah bentuk proses dan mekanisme pembentukan komite madrsah dalam mewujudkan efektivitas peran dan fungsinya ?

3. Bagaimanakah cara-cara komite madrasah dalam menjalankan peranannya dalam penyelenggaraan pendidikan dalam konsep Manajemen Berbasis Sekolah di MTsN II Semarang

4. Sejauh manakah ketercapaian pelaksanaan peran komite madrasah dalam memberikan jaminan pelibatan stakeholder pendidikan dalam mendukung proses pendidikan.

5. Bagaimnakah faktor pendorong dan faktor penghambat yang dapat mempengaruhi eksistensi madrasah dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di MTsN II Semarang.

E. Tujuan Penelitian

1. Memeperoleh penemuan secara mendalam tentang eksistensi komite madrasah dalam melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah di MTsN II Semarang meliputi :
a. Mendapatkan penemuan tentang profil dan peran komite madrasah yang diterapkan secara konsekuensi.
b. Mendapatkan penemuan tentang cara-cara komite madrasah dalam menjalankan peranannya dalam penyelenggaraan pendidikan dalam konsep manajemen berbasis sekolah di MTsN II Semarang.
c. Memperoleh penggambaran secara mendalam tentang ketercapaian pelaksanaan peran komite madrasah dalam memberikan jaminan perlibatan stakeholder pendidikan dalam mendukung proses pendidikan.

2. Mendapatkan penemuan tentang factor pendorong dan factor eksistensi komite madrasah dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di MTsN II Semarang.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang berupa eksistensi Komite Madrasah dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di MTsN II Semarang akan bermanfaat bagi para penyelenggara pendidikan (kepala sekolah), departemen Pendidikan dan Kebudayaan, para pengurus komite sekolah, serta para stakeholder pendidikan terutama untuk :
1. Manfaat teoritis
a. Menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama tentang eksistensi komite sekolah dalam pelaksanaan MBS.
b. Peneliti dapat menyumbangkan gagasannya yang berkaitan dengan eksistensi madrasah dalam pelaksanaan MBS.
c. Hasil-hasil yang diperoleh dapat menimbulkan permasalahan baru untuk diteliti lebih lanjut.

2. Manfaat praktis
a. Bagi pengurus komite madrasah
Mengungkapkan beberapa kendalaatau hambatan terhadap profil dan peran komite madrasah yang pada akhirnya dapat digunakan oleh pengurus komite madrasah sebagai tataran pelaksanaan di lapangan, serta keberadaaannya yang cukup strategis dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
b. Bagi penyelenggara pendidikan
Memberikan sumbangan pemikiran dan masukan bagi penyelenggara pendidikan akan pentingnya profil dan peran Komite Sekolah yang berguna dalam upaya peningkatan komitmen dan profesionalisme dalam mewujudkan "Masyarakat Sekolah" yang memiliki loyalitas terhadap peningkatan mutu sekolah.
c. Bagi Dinas Pendidikan Nasional
Membentuk pihak-pihak yang berkepentingan dalam menjelaskan berbagai isu terhadap pembentukan Komite Sekolah hanya sekedar merubah nama dari BP3 sekaligus memberi masukan yang penting bagi para pemerhati pendidikan untuk lebih memiliki integritas yang tinggi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di satuan pendidikan masing-masing.




MENGHARGAI KEUNIKAN ANAK

Menghargai keunikan anak


Judul: Menghargai Keunikan Anak
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian KESISWAAN / STUDENTS & LEARNING.
Nama & E-mail (Penulis): fima rosyidah
Saya Mahasiswi di UNY
Topik: kecerdasan majemuk
Tanggal: 2 April 2005


MENGHARGAI KEUNIKAN ANAK

Setiap anak memiliki keunikan yang berbeda-beda. Oleh karena itu diharapkan orang tua dan pendidik dapat mengenali keunikan-keunikan tersebut dalam bentuk kecerdasan. Dahulu kita mengenal Intelligence Quotient (IQ) yang diperkenalkan oleh Alfred Binet, dimana IQ akan menentukan keberhasilan pendidikan anak. Sedangkan, pada saat ini Gardner telah mengenalkan kita dengan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) Setiap anak memiliki semua kecerdasan yang disebutkan oleh Gardner, dimana kecerdasan linguistik, logis-matematis, kinestetik-jasmani, musikal, antarpribadi, interpribadi dan naturalis diharapkan dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki manusia. Setiap anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan setiap kecerdasan yang mereka miliki dengan bimbingan orang tua dan guru. Mereka juga dapat menunjukkan kemampuan yang sesuai dengan kecerdasannya.

Seorang anak yang "bodoh" di dalam kelas, dimana selalu mendapat rangking terakhir bukanlah anak yang tidak cerdas. Setiap anak, pasti memiliki kecerdasan yang disebutkan oleh Gardner. Mungkin anak yang tertinggal tersebut tidak memiliki kecerdasan logis-matematis atau linguistik yang banyak dimaksimalkan di dalam proses belajar mengajar di sekolah. Kemungkinan dia memiliki kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan antarpribadi, kecerdasaran interpribadi atau kecerdasan naturalis.

Anak anda mungkin senang menulis cerpen, puisi atau juga memiliki prestasi tinggi dalam mata pelajaran menulis. Dari kecenderungannya ini, anak tersebut memiliki kecerdasan linguistik (bahasa). Tapi, jika anda pernah diberi pertanyaan oleh seorang anak seperti "mengapa langit biru" atau "dimana akhir alam semesta", maka anda perlu menyadari bahwa anak tersebut memiliki rasa ingin tahu yang tinggi mengikuti kecerdasan logis-matematisnya. Selain itu, seorang anak juga ada yang lebih senang menirukan gerakan orang lain dari pada menggambar. Jika dia senang bergerak menirukan orang lain maka ia memiliki kecerdasan kinestetik-jasmani. Kemudian, anak yang lebih senang menggambar dan menonjol dalam mata pelajaran seni memiliki kecerdasan spasial.

Setiap anak juga memiliki cara belajar yang berbeda-beda. Gaya belajar yang lebih senang diiringi musik biasanya memiliki kepekaan terhadap musik. Menurut Armstrong (2002: 31), anak tersebut memiliki kecerdasan musikal yang perlu diasah dengan memberikan aktivitas belajar melalui musik.

Salah satu cara untuk melihat kecerdasan apa yang dimiliki seorang anak, kita bisa memperhatikan mereka saat bermain. Sering kali ketika bermain, anak lebih senang sendiri atau bergabung dengan teman-temannya. Jika dia lebih senang bersosialisasi dengan teman-temannya atau bahkan belajar bersama-sama, anak tersebut memiliki kecerdasan antarpribadi. Selain itu, anak yang memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah teman sebayanya juga memiliki kecerdasan ini. Tetapi, jika anak anda lebih senang belajar dan beraktivitas sendiri, maka dia memiliki kecerdasan interpribadi. Biasanya anak tersebut memperlihatkan sikap independen dan kemauan yang kuat.

Lingkungan alam di sekitar kita bisa dijadikan sebagai objek yang menarik bagi anak yang memiliki kecerdasan naturalis. Kecenderungan anak ini akrab dengan hewan peliharaannya atau tumbuhan yang dia rawat. Jangan heran, jika anak anda senang membawa pulang tumbuhan atau hewan untuk ditunjukkan kepada keluarganya.

Dari kedelapan kecerdasan tersebut, orang tua maupun pendidik perlu untuk menyadari adanya perbedaan kemampuan anak. Dari semua kecerdasan ini, anak dapat diarahkan sesuai dengan kecerdasan yang ia miliki. Sekolah, sebagai institusi yang mewadahi pendidikan perlu mempertimbangkan kecerdasan yang dimiliki anak supaya mereka dapat memperkuat kecerdasan yang mereka miliki.

Jumat, 16 Oktober 2009

Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang

Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Drs. Nurkolis, MM
Saya Dosen di Jakarta
Tanggal: 1 Juli 2002
Judul Artikel: Pendidikan Sebagai Investasi
Jangka Panjang
Topik: Investasi Pendidikan
Artikel:
Pendidikan sebagai Investasi
Jangka Panjang
Oleh : Nurkolis
Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa
sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah
untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi.
Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak
pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas
terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai
prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia,
mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat
pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk
memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir
panjang (Kompas, 24 Mei 2002).
Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang
tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat
ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan
sebagai investasi jangka panjang, setelah selama
ini pendidikan terabaikan. Salah satu
indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk
memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari
APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal
kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka
pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk
memprioritaskan pendidikan sebagai investasi
jangka panjang.
Pertama, pendidikan adalah alat untuk
perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi.
Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah
satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi
teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga
tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk
pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan
ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa
untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam
ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan
seseorang maka tingkat pendapatannya semakin
baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang
berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan
yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang
tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan
teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena
itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh
pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup.
Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis
kompetensi, pendidikan life skill dan broad based
education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini.
Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang
berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun
sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan
sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan
pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19
juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama
struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya
rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan
per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah,
akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD
hanya 1,1 juta rupiah.
Para penganut teori human capital berpendapat
bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber
daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun
non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan
adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik,
kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan
menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih
lama karena peningkatan gizi dan kesehatan.
Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa
tambahan pendapatan seseorang yang telah
menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan
dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya.
(Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing
Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA:
University of Illionis, 1982, h.121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan
menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama
untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang
yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu
negara untuk membangun bangsanya. Hal ini
dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu
pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya
sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan
pembangunan nasional. Nilai
Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai
balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada
investasi fisik di bidang lain. Nilai balik
pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang
dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan
total pendapatan yang akan diperoleh setelah
seseorang lulus dan memasuki dunia kerja.
Di negara-negara sedang berkembang umumnya
menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan
relatif lebih tinggi dari pada investasi modal
fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di
negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan
lebih rendah dibanding investasi modal fisik
yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat
dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang
terampil dan ahli di negara berkembang relatif
lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan
kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan
menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga
tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan
Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai
Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus
mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik
sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %,
pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi
13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa
pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang
paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya.
Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi
pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun
1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari
pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri
per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya
sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya
pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri
mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan.
Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu
ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk
pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan
dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan
yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan
tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya
menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat
kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting
dilakukan mengingat beberapa kajian yang
menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di
PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka
model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada
jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga
didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya).
Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga
kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih
mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin.
Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia
equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang
digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan
bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan
dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses
pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya
bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know,
learning to do, leraning to be dan learning live
together yang dapat dicapai melalui delapan
kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar,
menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal.
Anggaran pendidikan nasional seharusnya
diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun
dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain
itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar”
dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan
“benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun
yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis.
Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah
terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya,
barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk
pendidikan tingkat selanjutnya. Fungsi
Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan
memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis
yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis,
fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi
sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan
terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial
pada berbagai tingkat sosial yang berbeda.
Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu
siswa untuk mengembangkan dirinya secara
psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan
potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng,
School Effectiveness and School-Based Management:
A Mechanism for Development, Washington D.C: The
Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan
terhadap perkembangan politik pada tingkatan
sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat
individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan
sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang
positif untuk melatih warganegara yang benar dan
bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan
lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga
wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain
itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki
kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan
negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang
berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan
pada peralihan dan perkembangan budaya pada
tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual,
pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan
kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk
bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan
keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan
diharapkan lebih mampu menghargai atau
menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga
memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap
keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang
yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah
terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan
terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan
pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan
pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada
tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar
cara belajar dan membantu guru cara mengajar.
Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki
kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long
learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu
pengetahuan serta teknologi sehingga terus
terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat
umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik
status sosial seseorang dan penghormatan
masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik
dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang
berpendidikan diharapkan bisa menggunakan
pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan
jangka panjang. Orang yang berpendidikan
diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi
materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan
tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan
ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan
ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga
dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun
pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena
tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia
yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan
orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan
keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang
miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati
sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan
yang amat besar.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber
daya manusianya memiliki etika, moral, rasa
tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari
hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan
indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah
saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana
merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik
untuk mendukung perkembangan ekonomi.
Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu
bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan.
Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu
fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi
budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini
dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak
bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting
dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan
integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah
sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi
pilihan utama.
Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini
harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah
sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan
bersama.Nurkolis, Dosen Akademi Pariwisata Nusantara Jaya
di Jakarta.

Kreativitas Verbal

artikel 2
(Psikologi Perkembangan)


Kreativitas Verbal

Kata kreativitas berasal dari kata sifat creative yang berarti pandai mencipta. Sedangkan untuk pengertian yang lebih luas, kreativitas berarti suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas) dan orisinalitas berpikir.
Menurut Komite Penasehat Nasional Pendidikan Kreatif dan Pendidikan Budaya, keativitas merupakan bentuk aktivitas imajinatif yang mampu menghasilkan sesuatu yang bersifat orisinal, murni, dan bermakna (Munandar, 1999b).
Guilford (1967) menjelaskan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah. Guilford juga menambahkan bahwa bentuk pemikiran kreatif masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan, sebab, disekolah yang dilatih adalah penerimaan pengetahuan, ingatan, dan penalaran (berfikir logis).
Hurlock (1992) juga menjelaskan bahwa kreativitas merupakan proses mental yang dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, berbeda, dan orisinal. Hurlock menambahkan kreativitas menekankan pada pembuatan sesuatu yang baru dan berbeda. Kreativitas juga tidak selalu menghasilkan sesuatu yang dapat diamati dan dinilai.

Menurut Jawwad (2004) kreativitas adalah kemampuan berpikir untuk meraih hasil-hasil yang variatif dan baru, serta memungkinkan untuk diaplikasikan, baik dalam bidang keilmuan, kesenian, kesusastraan, maupun bidang kehidupan lain yang melimpah.
Chandra (1994) menguraikan bahwa kreativitas merupakan kemampuan mental dan berbagai jenis ketrampilan khas manusia yang dapat melahirkan pengungkapan unik, berbeda, orisinal, sama sekali baru, indah, efisien, tepat sasaran dan tepat guna.
Maslow (dalam Schultz, 1991) menyatakan bahwa kreativitas disamakan dengan daya cipta dan daya khayal naif yang dimiliki anak-anak, suatu cara yang tidak berprasangka, dan langsung melihat kepada hal-hal atau bersikap asertif. Kreativitas merupakan suatu sifat yang akan diharapkan seseorang dari pengaktualisasian diri.
Munandar (1999b) menguraikan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru yang berdasarkan data informasi atau unsur-unsur yang ada. Pengertian kreativitas tidak hanya kemampuan untuk bersikap kritis pada dirinya sendiri melainkan untuk menciptakan hubungan yang baik antara dirinya dengan lingkungan dalam hal material, sosial, dan psikis.
Munadi (1987) memberikan batasan kreativitas sebagai proses berpikir yang membawa seseorang berusaha menemukan metode dan cara baru di dalam memecahkan suatu masalah. Kemudian ia menemukan bahwa kreativitas yang penting bukan apa yang dihasilkan dari proses tersebut tetapi yang pokok adalah kesenangan dan keasyikan yang terlihat dalam melakukan aktivitas kreatif.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kreativitas merupakan suatu proses berpikir yang lancar, lentur dan orisinal dalam menciptakan suatu gagasan yang bersifat unik, berbeda, orisinal, baru, indah, efisien, dan bermakna, serta membawa seseorang berusaha menemukan metode dan cara baru di dalam memecahkan suatu masalah.

2. Ciri-ciri individu yang kreatif
Munandar (1999a) menyatakan bahwa ciri individu yang kreatif menurut para ahli psikologi antara lain adalah bebas dalam berpikir, mempunyai daya imajinasi, bersifat ingin tahu, ingin mencari pengalaman baru, mempunyai inisiatif, bebas berpendapat, mempunyai minat luas, percaya pada diri sendiri, tidak mau menerima pendapat begitu saja, cukup mandiri dan tidak pernah bosan.
Lebih lanjut Munandar (1999a) menjelaskan ciri-ciri pribadi kreatif meliputi ciri-ciri aptitude dan non-aptitude. Ciri-ciri aptitude yaitu ciri yang berhubungan dengan kognisi atau proses berpikir :
a. Keterampilan berpikir lancar, yaitu kemampuan mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah, atau pertanyaan.
b. Keterampilan berpikir luwes, yaitu kemampuan menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, serta dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda.
c. Keterampilan berpikir orisinal, yaitu kemampuan melahirkan ungkapan yang baru, unik, dan asli.
d. Keterampilan memperinci (mengelaborasi), yaitu kemampuan mengembangkan, memperkaya, atau memperinci detil-detil dari suatu gagasan sehingga menjadi lebih menarik.
e. Keterampilan menilai (mengevaluasi), yaitu kemampuan menentukan penilaian sendiri dan menentukan apakah suatu pertanyaan, suatu rencana, atau suatu tindakan itu bijaksana atau tidak
Ciri-ciri non-aptitude yaitu ciri-ciri yang lebih berkaitan dengan sikap atau perasaan, motivasi atau dorongan dari dalam untuk berbuat sesuatu : a) Rasa ingin tahu; b) Bersifat imajinatif; c) Merasa tertantang oleh kemajemukan; d) Berani mengambil risiko; e) Sifat menghargai.
Sund (dalam Nursito, 2000) menyatakan bahwa individu dengan potensi kreatif memiliki ciri-ciri yaitu (a) mempunyai hasrat ingin tahu, bersikap terhadap pengalaman baru, (b) panjang akal, (c) keinginan untuk menemukan dan meneliti, (d) cenderung lebih suka melakukan tugas yang lebih berat dan sulit, (e) berpikir fleksibel, bergairah, aktif dan berdedikasi dalam tugas, (f) menanggapi pertanyaan dan mempunyai kebiasaan untuk memberikan jawaban lebih banyak.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang kreatif adalah bebas dalam berpikir dan bertindak, mempunyai daya imajinasi, bersifat ingin tahu, ingin mencari pengalaman baru, mempunyai minat yang luas, mempunyai inisiatif, bebas berpendapat, tidak pernah bosan, dan merasa tertantang oleh kemajemukan.

3. Aspek-aspek kreativitas
Guilford (Nursito, 2000) menyatakan bahwa aspek-aspek kreativitas adalah sebagai berikut :
1. Fluency, yaitu kesigapan, keancaran untuk menghasilkan banyak gagasan
2. Fleksibilitas, yaitu kemampuan untuk menggunakan bermacam-macam pendekatan dalam mengatasi persoalan.
3. Orisinalitas, yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagsan yang asli.
4. Elaborasi, yaitu kemampuan untuk melakukan hal-hal secara detail atau terperinci.
5. Redefinition, yaitu kemampan untuk merumuskan batasan-batasan dengan melihat dari sudut yang lain daripada cara-cara yang lazim.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek-aspek kreativitas adalah fluency (kelancaran), fleksibilitas, orisinalitas (murni), elaborasi, dan redenifition.
B. Kreativitas Verbal
1. Pengertian Kreativitas Verbal
Kreativitas verbal terdiri dari 2 kata, yaitu kreativitas dan verbal. Thrustone, yang dikutip Azwar (1996) menyatakan bahwa verbal adalah pemahaman akan hubungan kata, kosakata, dan penguasaan komunikasi.
Sinolungan (2001) menyatakan bahwa kreativitas verbal adalah kemampuan berkomunikasi yang diawali dengan pembentukan ide melalui kata-kata, serta mengarahkan fokus permasalahan pada penguasaan bahasa atau kata-kata, yang akan menentukan jelas tidaknya pengertian mengenai ide yang disampaikan.
Torrance (Munandar, 1999b) mengungkapkan kreativitas verbal sebagai kemampuan berpikir kreatif yang terutama mengukur kelancaran, kelenturan, dan orisinalitas dalam bentuk verbal. Bentuk verbal dalam tes Torrance berhubungan dengan kata dan kalimat.
Mednick & Mednick (dalam Sinolungan, 2001) menambahkan bahwa kreativitas verbal adalah kemampuan melihat hubungan antar ide yang berbeda satu sama lain dan kemampuan untuk mengkombinasikan ide-ide tersebut ke dalam asosiasi baru. Anak-anak yang mempunyai kemampuan tersebut mampu membuat pola-pola baru berdasarkan prakarsanya sendiri menurut ide-ide yang terbentuk dalam kognitif mereka.
Guilford (1967) menambahkan bahwa kreativitas verbal adalah kemampuan berfikir divergen, yaitu pemikiran yang menjajagi bermacam-macam alternatif jawaban terhadap suatu persoalan yang sama besarnya.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kreativitas verbal adalah kemampuan membentuk ide-ide atau gagasan baru, serta mengkombinasikan ide-ide tersebut kedalam sesuatu yang baru berdasarkan informasi atau unsur-unsur yang sudah ada, yang mencerminkan kelancaran, kelenturan, orisinalitas dalam berpikir divergen yang terungkap secara verbal.

2. Faktor yang mempengaruhi kreativitas verbal.
Munandar (1999b) mengatakan bahwa lingkungan yang responsif (keluarga, sekolah, dan masyarakat) merupakan faktor utama terjadinya proses perkembangan inteligensi dan merupakan dasar yang kuat untuk pertumbuhan kreativitas verbal.
Hurlock (1992) mengemukakan kondisi yang mempengaruhi kreativitas adalah :
a. Waktu. Untuk menjadi kreatif, kegiatan anak seharusnya jangan diatur, karena hal itu akan menyebabkan anak hanya mempunyai sedikit waktu untuk bermain-main dengan gagasan dan konsep serta mencobanya dalam bentuk baru.
b. Kesempatan menyendiri. Anak dapat menjadi kreatif bila tidak mendapat tekanan dari kelompok sosial.
c. Dorongan. Orang tua sebaiknya mendorong anak untuk kreatif serta tidak mengejek atau mengkritik anak.
d. Sarana belajar dan bermain untuk merangsang dorongan eksperimen dan eksplorasi yang merupakan unsur penting dari kreatif.
e. Lingkungan yang merangsang. Lingkungan rumah dan sekolah harus memberikan bimbingan dan dorongan untuk merangsang kreativitas anak.
f. Hubungan orang tua. Orang tua yang tidak terlalu melindungi dan tidak terlalu posesif akan sangat mendukung kreativitas anak.
g. Cara mendidik anak. Cara mendidik yang demokratis dan permisif akan meningkatkan kreativitas, sedangkan cara mendidik yang otoriter akan memadamkan kreativitas anak.
h. Kesempatan untuk memperoleh pengetahuan. Semakin banyak pengetahuan yang diperoleh anak semakin baik dasar untuk mencapai hasil yang kreatif.
Menurut Kutner dan Kanto (dalam Rismiati, 2002) menyatakan faktor-faktor yang menimbulkan kreativitas adalah :
a. Lingkungan didalam rumah maupun di sekolah yang merangsang belajar kreatif. Lingkungan kreatif tercipta dengan memberikan pertanyaan terbuka, dapat dilakukan dirumah maupun disekolah yang menimbulkan minat dan merangsang rasa ingin tahu anak.
b. Pengaturan Fisik. Dengan menciptakan suasana nyaman dan santai untuk merangsang imajinasi anak.
c. Konsentrasi. Akan menghasilkan ide-ide yang produktif sampai menampilkan daya khayal anak untuk mengembangkan imajinasi anak.
d. Orang tua dan guru sebagai fasilitator. Orang tua dan guru harus bisa menghilangkan ketakutan dan kecemasan yang menghambat pemikiran dan pemecahan masalah secara kreatif.
Munandar (1988a) menambahkan faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas verbal adalah :
a. Kelancaran berpikir (fluency of thinking) yang menggambarkan banyaknya gagasan yang keluar dalam pemikiran seseorang.
b. Fleksibilitas (keluwesan) yaitu kemampuan untuk menggunakan bermacam-macam pendekatan dalam mengatasi persoalan.
c. Orisinalitas (keaslian) yaitu kemampuan seseorang untuk mencetuskan gagasan asli.
d. Elaborasi yaitu kemampuan untuk mengembangkan ide-ide dan menguraikan ide-ide tersebut secara terperinci.
Keempat faktor tersebut oleh Munandar digunakan untuk menyusun Tes Kreativitas Verbal.
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengauhi kreativitas verbal adalah waktu, kesempatan menyendiri, sarana, lingkungan, dan kesempatan memperoleh pengetahuan. Selain itu faktor lain yang juga mempengaruhi kreativitas verbal adalah kelancaran berpikir (fluency of thinking), fleksibilitas (keluwesan), originalitas (keaslian), dan elaborasi.

3. Faktor-faktor yang menghambat Kreativitas Verbal
Menurut Lehman (dalam Hurlock, 1996) kreativitas akan melemah apabila dihambat oleh lingkungan seperti :
a. Kesehatan yang buruk. Dapat mematikan daya kreativitas anak karena anak tidak mampu mengembangkan diri.
b. Lingkungan keluarga yang kurang baik. Tidak memberi dorongan untuk meningkatkan kreativitas.
c. Adanya tekanan ekonomi. Mempersulit anak untuk mengembangkan bakat kreatifnya, bila anak membutuhkan dana, misalnya membeli buku.
d. Kurangnya waktu luang. Tidak adanya kesempatan dan kebebasan pada anak untuk mengembangkan bakat kreatifnya.
Hurlock (1992) menambahkan kondisi yang dapat melemahkan kreativitas adalah:
a. Pembatasan eksplorasi. Kreativitas anak akan melemah bila orang tua membatasi anaknya untuk bereksplorasi dan bertanya.
b. Pengaturan waktu yang terlalu ketat. Anak menjadi tidak kreatif jika terlalu diatur, karena mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk bebas berbuat sesuka hati mereka.
c. Dorongan kebersamaan keluarga. Perkembangan kreativitas anak akan terganggu bila keluarga selalu menuntut kegiatan bersama-sama, karena tidak mempedulikan minat dan pilihan anak.
d. Membatasi khayalan. Hal ini dapat melemahkan kreativitas, karena orang tua selalu menginginkan anaknya berpikiran realistis dan beranggapan bahwa khayalan hanya membuang-buang waktu.
e. Penyediaan alat-alat permainan yang sangat terstruktur. Anak yang sering diberi mainan yang sangat terstruktur, seperti boneka yang berpakaian lengkap, akan kehilangan kesempatan untuk bermain.
f. Sikap orang tua yang konservatif. Orang tua yang bersikap seperti ini biasanya takut menyimpang dari pola sosial yang ada dalam masyarakat, sehingga mereka selalu menemani kemana pun anaknya pergi.
g. Orang tua yang terlalu melindungi. Jika orang tua terlalu melindungi anak-anaknya, maka mereka mengurangi kesempatan bagi anaknya untuk mencari cara mengerjakan sesuatu yang baru atau berbeda.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menghambat kreativitas verbal adalah : kesehatan yang buruk, lingkungan keluarga yang kurang baik, adanya tekanan ekonomi, kurangnya waktu luang, pembatasan eksplorasi, membatasi khayalan anak, sikap orang tua yang terlalu melindungi, dan pengaturan waktu yang terlalu ketat.

4. Perkembangan Kreativitas Verbal
Bahtiar (Ali Sjahbana, 1983) berpendapat bahwa salah satu faktor penting yang memungkinkan kreativitas berkembang adalah adanya kebutuhan sosial yang menghendaki suatu bentuk, struktur, pola atau sistem yang baru, karena apa yang telah ada dianggap tidak lagi memadai atau tidak bisa memenuhi kebutuhan. Pada keadaan tertentu orang-orang yang berhubungan satu sama lain bisa merasa kurang senang, tidak puas, dengan bentuk dan sifat-sifat hubungan mereka, sehingga mereka merasakan perlu penciptaan bentuk-bentuk, pola-pola atau sistem hubungan yang baru.
Soemardjan (1983) menekankan bahwa timbul, tumbuh, dan berkembangnya kreativitas individu tidak lepas dari pengaruh kebudayaan serta pengaruh masyarakat tempat individu tersebut tinggal.
Munandar (1999a) menyebutkan bahwa mengembangkan kreativitas meliputi:
a. Pengembangan segi kognitif antara lain dilakukan dengan merangsang kelancaran, kelenturan dan keaslian dalam berpikir.
b. Pengembangan segi afektif antara lain dilakukan dengan memupuk sikap dan minat untuk bersibuk diri secara kreatif.
c. Pengembangan segi psikomotorik dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memungkinkan siswa mengembangkan keterampilannya dalam membuat karya-karya yang produktif dan inovatif.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perkembangan kreativitas verbal meliputi segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Selain itu pengaruh kebudayaan serta pengaruh masyarakat tempat individu tersebut tinggal juga dapat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kreativitas verbal.

diambil dari Tulisan Nur AM

Manajemen Pendidikan dalam menghadapi Peserta Didik

Manajemen Pendidikan Dalam Menghadapi Peserta Didik

Sumber : http://nadhirin.blogspot.com/2009/03/manajemen-perserta-didik-dalam.html



Banyak kalangan yang belum puas dengan kualitas pendidikan di negara kita. Tentunya kita tidak jarang mendengarkan ungkapan-ungkapan seperti: “pendidikan negara kita belum berkualitas”, “pendidikan di Indonesia telah tertinggal jauh dari negara-negara lain”, “kapan kita akan maju kalau pendidikan kita berjalan di tempat”, dan lain sebagainya.

Para ahli pendidikan telah sepakat bahwa suatu sistem pendidikan dapat dikatakan berkualitas, apabila proses kegiatan belajar-mengajar berjalan secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak dan sebaik mungkin melalu proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan menghasilkan hasli yang bermutu serta relevan dengan perkembangan zaman. Agar terwujud sebuah pendidikan yang bermutu dan efisien, maka perlu disusun dan dilaksanakan program-program pendidiakn yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan mutu pedidikan yang optimal, diharapkan akan menghasilkan keungugulan smber daya manusia yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang secara pesat.

Untuk dapat mencapai sebuah pendidikan yang berkualitas diperlukan manajemen pedidikan yang mampu memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Di antaranya adalah manajemen peserta didik yang isinya merupakan pengelolaan dan juga pelaksanaannya. Masih banyak kita temukan fakta-fakta di lapangan sistem pengelolaan anak didik yang masih mengunakan cara-cara konvensional dan lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan tentunya kurang mmberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik. Padahal Kreativitas disamping bermanfaat untuk pengembangan diri anak didik juga merupakan kebutuhan akan perwujudan diri sebagai salah satu kebutuhan paling tinggi bagi manusia. Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan, menilai dan meguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubahnya dan mengujinya lagi sampai pada akhirnya menyampaikan hasilnya. Dengan adanya kreativitas yang diimplementasiakan dalam sistem pembelajaran, peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berbeda dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang progresif dan divergen pada nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah.

Perubahan kualitas yang seimbang baik fisik maupun mental merupakan idikasi dari perkambangan anak didik yang baik. Tidak ada satu aspek perkambangan dalam diri anak didik yang dinilai lebih penting dari yang lainnya. Oleh itu tidaklah salah bila teori kecerdasan majmuk yang diutarakan oleh Gardner dinilai dapat memenuhi kecenderungan perkambangan anak didik yang bervariasi.

Maka penyelenggaraan pendidikan saat ini harus diupayakan untuk memberikan pelayanan khusus kepada peserta didik yang mempunyai kreativitas dan juga keberbakatan yang berbeda agar tujuan pendidikan dapat diarahkan menjadi lebih baik.

Muhibbin Syah menjelaskan bahwa akar kata dari pendidikan adalah "didik" atau "mendidik" yang secara harfiah diartikan memelihara dan memberi latihan. Sedangkan "pendidikan", merupakan tahapan-tahapan kegiatan mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pelatihan dan pengajaran. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan tidak dapat lepas dari pengajaran. Kegiatan dari pengajaran ini melibatkan peserta didik sebagai penerima bahan ajar dengan maksud akhir dari semua hal ini sesuai yang diamanatkan dalam undang-undang no. 20 tentang sisdiknas tahun 2003; agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam pdidikan, peserta didik merupakan titik fokus yang strategis karena kepadanyalah bahan ajar melalu sebuah proses pengajaran diberikan. Dan sudah mafhum bahwa peserta didik memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, mereka unik dengan seluruh potensi dan kapasitas yang ada pada diri mereka dan keunikan ini tidak dapat diseragamkan dengan satu aturan yang sama antara pesrta didik yang satu dengan peserta didik yang lain. Para pendidik dan lembaga pendidikan harus menghargai perbedaan yang ada pada mereka. Keunikan yang terjadi pada peserta didik memang menimbulkan satu permasalahan tersendiri yang harus diketahui dan dipecahkan sehingga pengelolaan murid (peserta didik) dalam satu kerangka kerja yang terpadu mutlak diperhatikan, terutama pertimbangan pada pengembangan kreativitas, hal ini harus menjadi titik perhatian karena sistem pendidikan memang masih diakui lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberikan perhatian kepada pengembangan kreatif peserta didik. Hal ini terjadi dari konsep kreativitas yang masih kurang dipahami secara holistic, juga filsafat pendidikan yang sejak zaman penjajahan bermazhabkan azas tunggal seragam dan berorientasi pada kepentingan-kepentingan, sehingga pada akhirnya berdampak pada cara mengasuh, mendidik dan mengelola pembelajaran peserta didik.

Kebutuhan akan kreativitas tampak dan dirasakan pada semua kegiatan manusia. Perkembangan akhir dari kreativitas akan terkait dengan empat aspek, yaitu: aspek pribadi, pendorong, proses dan produk. Kreativitas akan muncul dari interaksi yang unik dengan lingkungannya.Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan mengujinya. Proses kreativitas dalam perwujudannya memerlukan dorongan (motivasi intristik) maupun dorongan eksternal. Motivasi intrinstik ini adalah intelegensi, memang secara historis kretivitas dan keberbakatan diartikan sebagai mempunyai intelegensi yang tinggi, dan tes intellejensi tradisional merupakan ciri utama untuk mengidentifikasikan anak berbakat intelektual tetapi pada akhirnya hal inipun menjadi masalah karena apabila kreativitas dan keberbakatan dilihat dari perspektif intelejensi berbagai talenta khusus yang ada pada peserta didik kurang diperhatikan yang akhirnya melestarikan dan mengembang biakkan Pendidikan Tradisional Konvensional yang berorientasi dan sangat menghargai kecerdasan linguistik dan logika matematik. Padahal, Teori psikologi pendidikan terbaru yang menghasilkan revolusi paradigma pemikiran tentang konsep kecerdasan diajukan oleh Prof. Gardner yang mengidentifikasikan bahwa dalam diri setiap anak apabila dirinya terlahir dengan otak yang normal dalam arti tidak ada kerusakan pada susunan syarafnya, maka setidaknya terdapat delapan macam kecerdasan yang dimiliki oleh mereka.

Undang-undang No.20 tentang sistem pendidikan nasional 2003, perundangan itu berbunyi " warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus". Baik secara tersurat ataupun tersirat UU No.20 tersebut telah mengamanatkan untuk adanya pengelolaan pelayanan khusu bagi anak-anak yang memiliki bakat dan kreativitas yang tinggi.

Pengertian dari pendidikan khusus disini merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan-pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pada akhirnya memang diperlukan adanya suatu usaha rasional dalam mengatur persoalan-persoalan yang timbul dari peserta didik karena itu adanya suatu manajemen peserta didik merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Siswa berbakat di dalam kelas mungkin sudah menguasai materi pokok bahasan sebelum diberikan. Mereka memiliki kemampuan untuk belajar keterampilan dan konsep pembelajaran yang lebih maju. Untuk menunjang kemajuan peserta didik diperlukan modifikasi kurikulum. Kurikulum secara umum mencakup semua pengalaman yang diperoleh peserta didik di sekolah, di rumah, dan di dalam masyarakat dan yang membantunya mewujudkan potensi-potensi dirinya. Jika kurikulum umum bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan pada umumnya, maka saat ini haruslah diupayakan penyelenggaraan kurikulum yang berdiferensi untuk memberikan pelayanan terhadap perbedaan dalam minat dan kemampuan peserta didik. Dalam melakukan kurikulum yang berbeda terhadap peserta didik yang mempunyai potensi keberbakatan yang tinggi, guru dapat merencanakan dan menyiapkan materi yang lebih kompleks, menyiapkan bahan ajar yang berbeda, atau mencari penempatan alternatif bagi siswa. Sehingga setiap peserta didik dapat belajar menurut kecepatannya sendiri.

Dalam paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang kreativitas, cukup banyak orangtua dan guru yang mempunyai pandangan bahwa kreativitas itu memerlukan iklim keterbukaan dan kebebasan, sehingga menimbulkan konflik dalam pembelajaran atau pengelolaan pendidikan, karena bertentangan dengan disiplin. Cara pandang ini sangatlah tidak tepat. Kreativitas justru menuntut disiplin agar dapat diwujudkan menjadi produk yang nyata dan bermakna. Displin disini terdiri dari disiplin dalam suatu bidang ilmu tertentu karena bagaimanapun kreativitas seseorang selalu terkait dengan bidang atau domain tertentu, dan kreativitas juga menuntut sikap disiplin internal untuk tidak hanya mempunyai gagasan tetapi juga dapat sampai pada tahap mengembangkan dan memperinci suatu gagasan atau tanggungjawab sampai tuntas.

Suatu yang tidak terbantahkan jika masa depan membutuhkan generasi yang memiliki kemampuan menghadapi tantangan dan perubahan yang terjadi dalam era yang semakin mengglobal. Tetapi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini belum mempersiapkan para peserta didik dengan kemampuan berpikir dan sikap kreatif yang sangat menentukan keberhasilan mereka dalam memecahkan masalah.

Kebutuhan akan kreativitas dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini dirasakan merupakan kebutuhan setiap peserta didik. Dalam masa pembangunan dan era yang semakin mengglobal dan penuh persaingan ini setiap individu dituntut untuk mempersiapkan mentalnya agar mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Oleh karena itu, pengembangan potensi kreatif yang pada dasarnya ada pada setiap manusia terlebih pada mereka yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dimulai sejak usia dini, Baik itu untuk perwujudan diri secara pribadi maupun untuk kelangsungan kemajuan bangsa.

Dalam pengembangan bakat dan kreativitas haruslah bertolak dari karakteristik keberbakatan dan juga kreativitas yang perlu dioptimalkan pada peserta didik yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Motivasi internal ditumbuhkan dengan memperhatikan bakat dan kreativitas individu serta menciptakan iklim yang menjamin kebebasan psikologis untuk ungkapan kreatif peserta didik di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat.

Merupakan suatu tantangan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk dapat membina serta mengembangkan secara optimal bakat, minat, dan kemampuan setiap peserta didik sehingga dapat mewujudkan potensi diri sepenuhnya agar nantinya dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi pembangunan masyarakat dan negara. Teknik kreatif ataupun taksonomi belajar pada saat ini haruslah berfokus pada pengembangan bakat dan kreativitas yang diterapkan secara terpadu dan berkesinambungan pada semua mata pelajaran sesuai dengan konsep kurikulum berdiferensi untuk siswa berbakat. Dengan demikian diharapkan nantinya akan dihasilkan produk-produk dari kreativitas itu sendiri dalam bidang sains, teknologi, olahraga, seni dan budaya. Amin

Artikel:Manfaat Sebuah Pendidikan


Judul: Manfaat Sebuah Pendidikan
Bahan ini cocok untuk Mohon Pilih bagian Mohon Pilih.
Nama & E-mail (Penulis): JEMMY
Saya Mahasiswa di AMBON
Topik: MANFAAT SEBUAH PENDIDIKAN
Tanggal: 08-07-2007

MANFAAT SEBUAH PENDIDIKAN

1. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.

Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.

Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.

Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.

Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.

Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.

2. Tujuan

Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;

Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.

Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosio-ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.

Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.

Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing - masing.

Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.

Memotivasi timbulnya pemikiran - pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut.

Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.

Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi sekolah kedepan.

Pengertian Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah.

Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.

Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro; Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan Sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pandidikan kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.

Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat. Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.

Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip - prinsip pengelolaan kualitas total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus - menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.

Pengertian mutu

Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau Ebtanas). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb.

Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai . Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah ' terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya :NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.

Kerangka kerja dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah

Dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut ;

Sumber daya; sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk : (i) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.

Pertanggung-jawaban (accountability); sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.

Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;

pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.

bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.

pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.

Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.

Personil sekolah; sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu dan pengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.

Konsekwensi logis dari itu, sekolah harus diperkenankan untuk:

mengembangkan perencanaan pendidikan dan prioritasnya didalam kerangka acuan yang dibuat oleh pemerintah.

Memonitor dan mengevaluasi setiap kemajuan yang telah dicapai dan menentukan apakah tujuannya telah sesuai kebutuhan untuk peningkatan mutu.

Menyajikan laporan terhadap hasil dan performannya kepada masyarakat dan pemerintah sebagai konsumen dari layanan pendidikan (pertanggung jawaban kepada stake-holders).

Uraian tersebut di atas memberikan wawasan pemahaman kepada kita bahwa tanggung jawab peningkatan kualitas pendidikan secara mikro telah bergeser dari birokrasi pusat ke unit pengelola yang lebih dasar yaitu sekolah. Dengan kata lain, didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana berbagai perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini akan disadari bahwa kewenangan pusat tidak lagi secara tepat dan cepat dapat merespon perubahan keinginan masyarakat tersebut.

Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa hanya sekolah yang sekolah yang dikelola secara efektiflah (dengan manajemen yang berbasis sekolah) yang akan mampu merespon aspirasi masyarakat secara tepat dan cepat dalam hal mutu pendidikan.

Institusi pusat memiliki peran yang penting, tetapi harus mulai dibatasi dalam hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari sistem pendidikan secara keseluruhan, harapan dan standar bagi siswa untuk belajar dan menyediakan dukungan komponen pendidikan yang relatif baku atau standar minimal. Konsep ini menempatkan pemerintah dan otorits pendiidikan lainnya memiliki tanggung jawab untuk menentukan kunci dasar tujuan dan kebijakan pendidikan dan memberdayakan secara bersama-sama sekolah dan masyarakat untuk bekerja di dalam kerangka acuan tujuan dan kebijakan pendidikan yang telah dirumuskan secara nasional dalam rangka menyajikan sebuah proses pengelolaan pendidikan yang secara spesifik sesuai untuk setiap komunitas masyarakat.

Jelaslah bahwa konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnya lebih memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus mnyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).

Sementara itu pendanaan walaupun dianggap penting dalam perspektif proses perencanaan dimana tujuan ditentukan, kebutuhan diindentifikasikan, kebijakan diformulasikan dan prioritas ditentukan, serta sumber daya dialokasikan, tetapi fokus perubahan kepada bentuk pengelolaan yang mengekspresikan diri secara benar kepada tujuan akhir yaitu mutu pendidikan dimana berbagai kebutuhan siswa untuk belajar terpenuhi. Untuk itu dengan memperhatikan kondisi geografik dan sosiekonomik masyarakat, maka sumber daya dialokasikan dan didistribusikan kepada sekolah dan pemanfaatannya dipercayakan kepada sekolah sesuai dengan perencanaan dan prioritas yang telah ditentukan oleh sekolah tersebut dan dengan dukungan masyarakat. Pedoman pelaksanaan peningkatan mutu kalaupun ada hanya bersifat umum yang memberikan rambu-rambu mengenai apa-apa yang boleh/tidak boleh dilakukan.

Secara singkat dapat ditegaskan bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence) dan ini mendorong masing-masing sekolah agar dapat menentukan visi dan misi nya utnuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya.

Strategi pelaksanan di tingkat sekolah

Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memliki kepedulian terhadap pendidikan sekolah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut :

Penyusunan basis data dan profil sekolah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.

Melakukan evaluasi diri (self assesment) utnuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah, personil sekolah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampilan, maupun aspek lainnya.

Berdasarkan analisis tersebut sekolah harus mengidentifikasikan kebutuhan sekolah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa belajar, penyediaan sumber daya dan pengeloaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.

Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu tersebut sekolah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan termasuk anggarannnya. Program tersebut memuat sejumlah program aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan datang. Perencanaan program sekolah ini harus mencakup indikator atau target mutu apa yang akan dicapai dalam tahun tersebut sebagai proses peningkatan mutu pendidikan (misalnya kenaikan NEM rata-rata dalam prosentase tertentu, perolehan prestasi dalam bidang keterampilan, olah raga, dsb). Program sekolah yang disusun bersama-sama antara sekolah, orang tua dan masyarakat ini sifatnya unik dan dimungkinkan berbeda antara satu sekolah dan sekolah lainnya sesuai dengan pelayanan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Karena fokus kita dalam mengimplementasian konsep manajemen ini adalah mutu siswa, maka program yang disusun harus mendukung pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kurikulum nasional yang telah ditetapkan, langkah untuk menyampaikannya di dalam proses pembelajaran dan siapa yang akan menyampaikannya.

Dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah kondisi alamiah total sumber daya yang tersedia dan prioritas untuk melaksankan program. Oleh karena itu, sehubungan dengan keterbatasan sumber daya dimungkinkan bahwa program tertentu lebih penting dari program lainnya dalam memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar. Kondisi ini mendorong sekolah untuk menentukan skala prioritas dalam melaksanakan program tersebut. Seringkali prioritas ini dikaitkan dengan pengadaan preralatan bukan kepada output pembelajaran. Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen tersebut sekolah harus membuat skala prioritas yang mengacu kepada program-program pembelajaran bagi siswa. Sementara persetujuan dari proses pendanaan harus bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan keuangan melainkan harus merefleksikan kebijakan dan prioritas tersebut. Anggaran harus jelas terkait dengan program yang mendukung pencapaian target mutu. Hal ini memungkinkan terjadinya perubahan pada perencanaan sebelum sejumlah program dan pendanaan disetujui atau ditetapkan.

Prioritas seringkali tidak dapat dicapai dalam rangka waktu satu tahun program sekolah, oleh karena itu sekolah harus membuat strategi perencanaan dan pengembangan jangka panjang melalui identifikasi kunci kebijakan dan prioritas. Perencanaan jangka panjang ini dapat dinyatakan sebagai strategi pelaksanaan perencanaan yang harus memenuhi tujuan esensial, yaitu : (i) mampu mengidentifikasi perubahan pokok di sekolah sebagai hasil dari kontribusi berbagai program sekolah dalam periode satu tahun, dan (ii) keberadaan dan kondisi natural dari strategi perencanaan tersebut harus menyakinkan guru dan staf lain yang berkepentingan (yang seringkali merasakan tertekan karena perubahan tersebut dirasakan harus melaksanakan total dan segera) bahwa walaupun perubahan besar diperlukan dan direncanakan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa, tetapi mereka disediakan waktu yang representatif untuk melaksanakannya, sementara urutan dan logika pengembangan telah juga disesuaikan. Aspek penting dari strategi perencanaan ini adalah program dapat dikaji ulang untuk setiap periode tertentu dan perubahan mungkin saja dilakukan untuk penyesuaian program di dalam kerangka acuan perencanaan dan waktunya.

Melakukan monitoring dan evaluasi untuk menyakinkan apakah program yang telah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan, apakah tujuan telah tercapai, dan sejauh mana pencapaiannya. Karena fokus kita adalah mutu siswa, maka kegiatan monitoring dan evaluasi harus memenuhi kebutuhan untuk mengetahui proses dan hasil belajar siswa. Secara keseluruhan tujuan dan kegiatan monitoring dan evaluasi ini adalah untuk meneliti efektifitas dan efisiensi dari program sekolah dan kebijakan yang terkait dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Seringkali evaluasi tidak selalu bermanfaat dalam kasus-kasus tertentu, oleh karenanya selain hasil evaluasi juga diperlukan informasi lain yang akan dipergunakan untuk pembuatan keputusan selanjutnya dalam perencanaan dan pelaksanaan program di masa mendatang. Demikian aktifitas tersebut terus menerus dilakukan sehingga merupakan suatu proses peningkatan mutu yang berkelanjutan.

Penutup

Beragamnya kondisi lingkungan sekolah dan bervariasinya kebutuhan siswa di dalam proses pembelajaran ditambah lagi dengan kondisi geografi Indonesia yang sangat kompleks, seringkali tidak dapat diapresiasikan secara lengkap oleh birokrasi pusat. Oleh karena itu di dalam proses peningkatan mutu pendidikan perlu dicari alternatif pengelolaan sekolah. Hal ini mendorong lahirnya konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Manajemen alternatif ini memberikan kemandirian kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, tetapi masih tetap mengacu kepada kebijakan nasional. Konsekwensi dari pelaksanaan program ini adanya komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yaitu orang tua/masyarakat, guru, kepala sekolah, siswa dan staf lainnya di satu sisi dan pemerintah (Depdikbud) di sisi lainnya sebagai partner dalam mencapai tujuan peningkatan mutu.

Dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen ini, strategi yang dapat dilaksanakan oleh sekolah antara lain meliputi evaluasi diri untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan sekolah. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut sekolah bersama-sama orang tua dan masyarakat menentukan visi dan misi sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan atau merumuskan mutu yang diharapkan dan dilanjutkan dengan penyusunan rencana program sekolah termasuk pembiayaannya, dengan mengacu kepada skala prioritas dan kebijakan nasional sesuai dengan kondisi sekolah dan sumber daya yang tersedia. Dalam penyusunan program, sekolah harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya untuk melihat ketercapaian visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan nasional dan target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan pemerintah. Hasil evaluasi (proses dan output) ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai masukan untuk perencanaan/penyusunan program sekolah di masa mendatang (tahun berikutnya). Demikian terus menerus sebagai proses yang berkelanjutan.

Untuk pengenalan dan menyamakan persepsi sekaligus untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan pelaksanaan manajemen ini, maka sosialisasi harus terus dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pilot/uji coba harus segera dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin muncul di dalam pelaksanaannya untuk dicari solusinya dalam rangka mengantisipasi kemungkinan-kemungkian kendala yang muncul di masa mendatang. Harapannya dengan konsep ini, maka peningkatan mutu pendidikan akan dapat diraih oleh kita sebagai pelaksanaan dari proses pengembangan sumber daya manusia menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara cepatusus)

Saya JEMMY setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN: